HUBUNGAN
INDUSTRIAL
Kita
mungkin sudah sering melihat atau mendengar
perselisihan antara buruh dengan pengusaha yang ditandai dengan adanya
aksi demo maupun mogok kerja. Masalah
tersebut sebenarnya sudah sering terjadi dan mungkin sudah dianggap biasa didalam
suatu hubungan antara dua pihak. Namun setidaknya untuk dua tahun belakangan
ini masalah tersebut semakin memanas seiring dengan pemberitaan di sejumlah media masa yang terus dibahas
sebagai topik utama. Sebagian orang mungkin bertanya-tanya apa yang sebenarnya
kedua pihak tersebut perselisihkan? Kenapa masalah tersebut bisa menimbulkan
aksi-aksi anarkis yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat sekitar seperti
demo yang dilakukan dengan cara menutup akses jalan umum atau pembakaran di
tempat umum? Dan seberapa pentingnya peranan pemerintah dalam mengatasi hal
ini?
Munculnya konflik buruh dan
pengusaha atau populer dengan konflik industrial selalu terkait dengan tiga
komponen besar industri, yaitu negara, modal dan massa buruh. Ketiganya sering
disebut sebagai segitiga industri yang berarti suatu pola hubungan antara tiga
kekuatan utama, baik langsung atau tidak, terlibat dalam proses produksi.
Kekuatan itu adalah pengusaha, buruh dan negara (state apparatus).
Konflik
antara buruh dan pengusaha khususnya di Indonesia tercatat terjadi sejak jaman
kolonial. Selanjutnya setelah pergantian kekuasaan dari kolonial kepada pihak
nasional ternyata tidak secara signifikan mengubah relasi yang ada, dan sebagai
akibatnya buruh berada pada posisi yang sama. Pada awal pembangunan, terdapat
suatu hubungan yang harmonis antara negara dan modal melalui birokratisasi dan
korporatisasi. Saat itu, negara secara sistematik merancang dan mengembangkan
untuk berperan mendukung kepentingan kapital untuk tumbuh cepat dan aman.
Sementara itu, hubungan harmonis modal dan negara dapat dilihat sebagai suatu
proses yang memungkinkan kekuatan modal untuk menguasai sumberdaya produktif
secara legal, sehingga menimbulkan konflik berkepanjangan.
Selama
dua dasawarsa hubungan harmonis antara negara dan modal, berhadapan dengan
buruh telah meningkatkan pertumbuhan dan kemajuan dalam akumulasi modal. Akan
tetapi hubungan harmonis tersebut berlangsung bukan tanpa syarat. Syarat inilah
yang kemudian dianggap sebagai bentuk kepentingan negara yaitu berupa sejumlah
pembiayaan yang harus dikeluarkan pengusaha untuk memperlancar dan mengamankan
jalannya roda produksi. Dalam perkembangan selanjutnya, pengusaha mulai
mempertanyakan intervensi pemerintah dalam kegiatan produksi, sebab biaya yang
dikeluarkan untuk menjalin hubungan yang harmoni tersebut semakin mahal. Hal
ini berimbas pada buruh yang notabene merupakan titik tersempit dalam segitiga
industri tersebut. Itulah sebab kehidupan buruh tidak sejalan dengan laju
produksi pabrik. Prestasi produksi, kerja keras dan sejumlah pengorbanan buruh
tidak pernah membawa perbaikan kualitas kehidupan mereka. Bahkan tuntutan
perbaikan hidup buruh pun tidak pernah dikabulkan tanpa melalui aksi yang
dilakukan buruh secara bersama-sama (kolektif). Imbasnya, konflik pun tidak
pernah terselesaikan.
Penyusun:
Tajalina Hakki (37411016-3ID06)