Kamis, 17 Oktober 2013

Mata Kuliah Metode Penelitian



HUBUNGAN INDUSTRIAL

Kita mungkin sudah sering melihat atau mendengar  perselisihan antara buruh dengan pengusaha yang ditandai dengan adanya aksi demo maupun mogok kerja.  Masalah tersebut sebenarnya sudah sering terjadi dan mungkin sudah dianggap biasa didalam suatu hubungan antara dua pihak. Namun setidaknya untuk dua tahun belakangan ini masalah tersebut semakin memanas seiring dengan pemberitaan di  sejumlah media masa yang terus dibahas sebagai topik utama. Sebagian orang mungkin bertanya-tanya apa yang sebenarnya kedua pihak tersebut perselisihkan? Kenapa masalah tersebut bisa menimbulkan aksi-aksi anarkis yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat sekitar seperti demo yang dilakukan dengan cara menutup akses jalan umum atau pembakaran di tempat umum? Dan seberapa pentingnya peranan pemerintah dalam mengatasi hal ini?
Munculnya konflik buruh dan pengusaha atau populer dengan konflik industrial selalu terkait dengan tiga komponen besar industri, yaitu negara, modal dan massa buruh. Ketiganya sering disebut sebagai segitiga industri yang berarti suatu pola hubungan antara tiga kekuatan utama, baik langsung atau tidak, terlibat dalam proses produksi. Kekuatan itu adalah pengusaha, buruh dan negara (state apparatus).
Konflik antara buruh dan pengusaha khususnya di Indonesia tercatat terjadi sejak jaman kolonial. Selanjutnya setelah pergantian kekuasaan dari kolonial kepada pihak nasional ternyata tidak secara signifikan mengubah relasi yang ada, dan sebagai akibatnya buruh berada pada posisi yang sama. Pada awal pembangunan, terdapat suatu hubungan yang harmonis antara negara dan modal melalui birokratisasi dan korporatisasi. Saat itu, negara secara sistematik merancang dan mengembangkan untuk berperan mendukung kepentingan kapital untuk tumbuh cepat dan aman. Sementara itu, hubungan harmonis modal dan negara dapat dilihat sebagai suatu proses yang memungkinkan kekuatan modal untuk menguasai sumberdaya produktif secara legal, sehingga menimbulkan konflik berkepanjangan.
Selama dua dasawarsa hubungan harmonis antara negara dan modal, berhadapan dengan buruh telah meningkatkan pertumbuhan dan kemajuan dalam akumulasi modal. Akan tetapi hubungan harmonis tersebut berlangsung bukan tanpa syarat. Syarat inilah yang kemudian dianggap sebagai bentuk kepentingan negara yaitu berupa sejumlah pembiayaan yang harus dikeluarkan pengusaha untuk memperlancar dan mengamankan jalannya roda produksi. Dalam perkembangan selanjutnya, pengusaha mulai mempertanyakan intervensi pemerintah dalam kegiatan produksi, sebab biaya yang dikeluarkan untuk menjalin hubungan yang harmoni tersebut semakin mahal. Hal ini berimbas pada buruh yang notabene merupakan titik tersempit dalam segitiga industri tersebut. Itulah sebab kehidupan buruh tidak sejalan dengan laju produksi pabrik. Prestasi produksi, kerja keras dan sejumlah pengorbanan buruh tidak pernah membawa perbaikan kualitas kehidupan mereka. Bahkan tuntutan perbaikan hidup buruh pun tidak pernah dikabulkan tanpa melalui aksi yang dilakukan buruh secara bersama-sama (kolektif). Imbasnya, konflik pun tidak pernah terselesaikan.














Penyusun:
Tajalina Hakki (37411016-3ID06)